Latar Belakang Pembuatan Salib Pra IYD dan IYD Serta Atributnya
Sebelum menjelaskan tentang Salib Pra IYD dan IYD Keuskupan Timika versi empat Dekenat Gunung, yaitu: Dekenat Paniai, Kammu-Mapia, Moni-Puncak, dan Tigi, dalam Ajaran Gereja, penting untuk membahas konsep Inkulturasi terlebih dahulu. Inkulturasi dalam konteks Ajaran Gereja Katolik dapat merujuk pada hal-hal berikut: Pertama, Dokumen Konsili Vatikan II dan Lumen Gentium (LG) 16, yang menyatakan bahwa inkulturasi adalah proses “menterjemahkan liturgi atau ajaran gereja ke dalam budaya setempat atau mengangkat nilai-nilai budaya setempat yang benar dalam liturgi.” Kedua, referensi dari Kitab Suci, seperti perkataan Yesus dalam Injil Matius 5:17: “Aku datang bukan untuk meniadakan Taurat Musa, melainkan untuk menyempurnakannya.” Selanjutnya, peristiwa Pentakosta juga menjadi relevan dalam konteks ini, karena itu adalah hari kelahiran Gereja Universal, seperti yang tercatat dalam Kisah Para Rasul 2:1-41.
Mengapa kita mengambil referensi dari Ajaran Gereja dan Kitab Suci? Hal ini dilakukan untuk memiliki dasar atau landasan yang kokoh dalam pembuatan Salib IYD dan Pra IYD versi Gunung, sehingga tidak menyimpang dari ajaran-ajaran Gereja dan prinsip-prinsip Kitab Suci. Selain itu dalam tradisi IYD juga diizinkan untuk membuat Salib Ciri Khas Keuskupan masing-masing untuk Kegiatan Kirab Salib. Maka, itu juga menjadi salah satu faktor pendukung dalam pembuatan Salib Pra IYD dan IYD versi Gunung. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, kita dapat melanjutkan dengan penjelasan mengenai Salib Pra IYD dan IYD Keuskupan Timika versi empat Dekenat Gunung.
Adapun tahap pembuatan Salib IYD dan Pra IYD disesuaikan dengan cara, situasi, kondisi, serta adat istiadat budaya setempat. Akhirnya, ada kesepakatan bersama Komkep Keuskupan Timika dan Moderator empat Dekenat Gunung, serta empat Komkep Dekenat Gunung merencanakan dan sepakat untuk membuat Salib Pra IYD dan IYD versi Gunung. Salib versi Gunung telah dibuat, dan dalam waktu dekat akan dilakukan Kirab Salib (pawai salib) untuk empat Dekenat Gunung, yaitu: Dekenat Paniai, Kammu-Mapia, Moni-Puncak, dan Tigi. Salib Pra IYD dan IYD ini dibuat langsung oleh seniman yang berasal dari empat Dekenat Gunung dengan kesepakatan bersama semua Komkep empat Dekenat.
Akhirnya, diputuskan bahwa Salib Pra IYD dan IYD ini berbeda dengan Salib sebelumnya. Tentu, Salib dan Korpus (tubuh Yesus) yang kita imani adalah satu, yaitu Salib Yesus Kristus. Namun, disepakati menggunakan Salib versi Gunung. Korpus (tubuh Yesus) berambut kriting dan berkulit hitam, mengenakan atribut Gunung yakni Koteka/ngosaga/kebewak dengan motif di Salib yang menggambarkan makanan Pokok khas Papua Pegunungan, seperti nota/kadaga, kalongaju/mbalaga, dan juga rotan Udone/gosaga lage sebagai tali pengikat.
Dengan demikian, diharapkan semua umat, apa pun budayanya, marilah kita saling menghormati bahwa Salib Pra IYD dan IYD ini adalah benar-benar Salib Kristus yang mengunakan busana adat Wilayah Gunung.
Baca juga:
Dialog Akal Sehat UAS dan Rocky Gerung
|
Makna Ukiran dari Salib Pra IYD versi Dekenet Gunung
Salib Pra IYD dan IYD empat Dekenat Gunung menggunakan atribut budaya setempat karena ingin menunjukkan bahwa Yesus Kristus dapat diinkulturasi dalam budaya setempat. Seperti Salib Yesus dalam tradisi budaya Yahudi menggunakan kain. Namun, di wilayah Papua pada waktu itu, kain tidak tersedia dan digantikan dengan kulit kayu, koteka/ngosaga/kebewak. Salib Pra IYD dan IYD dibuat menggunakan atribut budaya setempat dalam versi Gunung. Hal ini adalah upaya untuk menggambarkan Yesus sebagai sosok yang autentik dan nyata dalam konteks budaya Gunung Papua. Dalam penggambaran ini, Korpus (tubuh Yesus) diberikan ciri berambut kriting dan berkulit hitam, menggambarkan sifat-sifat fisik yang lebih khas dari orang Papua. Sebagai bagian dari konteks budaya Gunung Papua, Yesus dikontekskan sebagai sosok bikmen/tonowi/sonowi yang menjadi identitas lokal dalam wilayah tersebut.
Yesus adalah pemberi makanan melalui tubuh-Nya sendiri dalam Ekaristi. Dalam tradisi Yahudi, Perjamuan biasanya menggunakan bahan atau materi seperti anggur dan gandum. Namun, dalam konteks wilayah gunung Papua, terdapat ubi yang dianggap sebagai sumber kehidupan yang penting. Ubi ini disebut dengan nama “nota” atau “kadaga” dalam bahasa Mee, dan “kalongaju” atau “mbalaga” dalam bahasa Migani/Moni. Untuk itu, ubi ini digambarkan dalam Salib versi Gunung.
Penting untuk diingat bahwa Yesus adalah sumber keselamatan dan sumber kehidupan. Yesus menjadi sumber keselamatan karena Ia mati di kayu Salib, dan melalui Ekaristi, tubuh-Nya memberikan kehidupan kepada kita. Dalam Ekaristi, Yesus menghidupi umat-Nya dengan memberikan diri-Nya sendiri sebagai makanan rohani yang memberikan kehidupan abadi.
Penggambaran ini dalam Salib versi Gunung merupakan upaya untuk menghubungkan simbol-simbol lokal dengan makna dan kehadiran Yesus dalam hidup umat di wilayah gunung. Hal ini juga memperkuat pemahaman akan peran penting Yesus sebagai sumber kehidupan dan penyelamatan.
Penggunaan rotan dalam kebiasaan orang gunung untuk mengikat sesuatu agar kuat. Dalam konteks penyaliban Yesus, rotan dapat dikaitkan dengan paku yang digunakan saat Yesus disalibkan. Hal ini memberikan identifikasi simbolis bahwa rotan menggambarkan penderitaan dan pengorbanan yang Yesus alami pada kayu salib. Selanjutnya, Udone/gosaga lage, yang merupakan tali yang mengarahkan hidup pada yang suci, memiliki makna penting dalam konteks Salib Pra IYD dan IYD versi Gunung. Tali ini mencerminkan perlambang bahwa dengan memegang teguh ajaran dan nilai-nilai yang suci, manusia mengarahkan hidupnya menuju Kerajaan Allah. Namun, jika tali tersebut dilepaskan atau ditinggalkan, manusia cenderung mengikuti nilai-nilai dunia yang sementara.
Dalam penggambaran Salib Pra IYD dan IYD versi Gunung, penggunaan Udone/gosaga lage oleh Yesus menggambarkan sosok yang menyatakan Kerajaan Allah di dunia ini. Hal ini menunjukkan bahwa Yesus sebagai contoh utama yang menunjukkan jalan hidup yang benar dan mengarahkan kita untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai kerajaan-Nya.
Pemberkatan Salib Pra IYD dan IYD versi Dekenat Gunung
Pemberkatan salib akan dilakukan oleh empat Deken dan dihadiri oleh Komkep empat Dekenat Gunung serta MUDIKA empat Dekenat Gunung. Kegiatan ini akan dipusatkan di Paroki Santa Maria Rosari Modio pada tanggal 23 Mei 2023. Paroki Modio dipilih sebagai awal Kegiatan Kirab Salib karena merupakan tempat bersejarah, dimana Agama Katolik masuk pertama kali di Wilayah Pegunungan.
Yang akan terlibat dalam Kirab Salib Pra IYD dan IYD empat Dekenat Gunung adalah seluruh Umat Paroki, Pastor Paroki, Dewan Paroki dan semua Kelompok Kategorial di Paroki. Namun dalam Kegiatan Kirab Salib ini yang akan terlibat penuh adalah “MUDIKA”. MUDIKA adalah Organisasi Gereja yang di dalamnya ada dua Kelompok kategorial yakni: OMK (Orang Muda Katolik) dan KMK (Keluarga Muda Katolik).
Jadwal Kirab Salib Pra IYD dan IYD versi Dekenat Gunung
Kegiatan Kirab Salib Pra IYD dan IYD Dekenat Gunung direncanakan mulai pada tanggal 23 Mei 2023 hingga 7 Juni 2023.
Paroki-paroki yang akan dikunjungi selama Kegiatan Kirab Salib ini adalah, Paroki yang berada di sepanjang jalan Trans Nabire-Ilaga (kurang lebih 24 paroki), mulai dari Paroki Santa Maria Rosari Modio hingga finis di Paroki Santo Petrus Ilaga.
Berikut Jadwal Kirab Salib empat Dekenat Gunung: Hari pertama, Paroki Modio, Bomomani, Moanemani, Mauwa, Idakebo Dan Ugapuga.
Hari Kedua, Quasi Kemugepa, Paroki Diyai, Paroki Wageite, Paroki Damabagata.
Hari Ketiga, Paroki Epauto, Paroki Madi, Paroki Enarotali.
Hari Keempat, Paroki Obano, Paroki Yagai, Paroki Biamoma, Paroki Komopa Dan Paroki Dawagu.
Hari Kelima, Paroki Mbugulo Dan Paroki Bilae. Hari Keenam, Paroki Bilogae dan Titigi. Bila waktu memungkinkan akan ke Paroki Puncak dan Dekenat Teluk Cendrawasi Nabire.
Salib Pra IYD dan IYD ini sebelum tanggal 10 Juni 2023 sudah tiba di Pusat Kesukupan Timika.
Penulis : Pastor Paroki Mauwa, Benyamin Sugiyatanggu Magay, Pr (Moderator Komkep empat Dekenat Gunung Pra IYD dan IYD Keuskupan Timika)