Di bumi ini, sebagaimana manusia yang lain, aku mengembara dari jiwa yang satu ke jiwa yang lain. Aku hanya menjalani tugasku untuk mencelakai dan membinasakan orang lain. Jangan kaget kalau aku mengatakan demikian. Jangan pula heran melihat aksi-aksi kejamku. Jalanku melalui pikiran. Aku merasuki pikiran manusia. Pikiran itulah diriku sesungguhnya. Pikiran itu pula-lah yang mendorong aksiku.
Adakah iblis? Adakah setan? Apa bedanya? Barangkali tiada bedanya menurutku.
Baca juga:
Tony Rosyid: Puan Makin Terancam?
|
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini kadang menemaniku kala diriku terbaring, bukan tidur. Aku tak sadar kalau akulah iblis itu dan setan yang sering kutanya-tanyai dalam pembaringanku. Aku memang iblis itu. Aku selalu melakukan hal-hal yang tidak baik menurut pemikiran kebanyakan orang. Disana mereka mengajarkan etika dan moral, tetapi teori-teori itu tak penting bagiku. Sepuluh Hukum Sang Pencipta yang diyakini umat Kristen sedunia pun bertolak belakang dengan misi hidupku. Pikiranku itulah setan, yang menggerakanku untuk bertindak ketika hati tak menimbang mana yang baik dan buruk.
Di belahan dunia mana pun, tak pernah kujumpai sosok iblis. Aku hanya jumpai sosok iblis berwajah manusia. Mereka adalah sahabat-sahabatku. Sahabat seperjuanganku, yang bergerak secepat kilat. Siang dan malam saat kami terjaga, kami mengitari sejagad raya ini. Kami tak pernah tidur barang sedetik pun.
Baca juga:
Tony Rosyid: Plus Minus NU Dukung Anies
|
Aku selalu berpikir untuk memenuhi hasrat dagingku, mencelakai dan membinasakan orang lain. Itulah benih-benih yang telah kusemaikan dalam hatiku. Bertumbuh subur dan berakar kokoh hingga menghasilkan buahnya yang lebat.
Aku melakukan segalanya seturut keinginan dagingku. Jangankan mencuri, membunuh saja merupakan hal biasa bagiku. Dan itulah misi hidupku.
Namaku Peu Dimii. Nama ini adalah julukanku saat aku mulai tumbuh dewasa bersama sahabatku dan membanggakan pikiran negatif dalam keseharian hidupku. Padahal, sejak aku dilahirkan di bumi ini, orang tuaku memberi nama Enaa Dimii.
Saat nama Peu Dimii menyandangku, aku benar-benar menjadi iblis. Iblis perenggut jiwa dan raga manusia seantero bumi. Selain berupaya melenyapkan nyawa manusia, aku juga selalu berupaya melenyapkan jiwa manusia.
“Peu, mari kita bergerak!” pinta sahabatku Adou Madou.
“Bergerak kemana?” tanyaku. “Aku sedang berpikir merenggut nyawa orang yang menantangku, ” lanjutku sambil melayangkan kedua bola mataku keluar pintu rumahku yang terbuka lebar.
Adou Madou masih berdiri di depan pintu rumahku sambil sesekali memandangiku tak sabar. “Aku tahu pikiranmu.” Ia terdiam sejenak lalu melanjutkan perkataannya. “Aku juga tahu orang yang hendak kamu habisi nyawanya. Mari kita jalan bersama habisi nyawanya!”
Penuh semangat aku berdiri. “Baiklah, kalau begitu.” Aku lalu berdiri mengambil sebila parang panjang penuh darah dan menghampiri sahabatku yang telah menungguku.
Sore itu, setelah matahari beranjak turun di lintasan kaki langit, aku dan sahabatku terbang melayang ke rumah Yikoo Dimii, yang seminggu lalu membenci aksi pembunuhanku.
Aku memandu Adou Madou menuju rumah Yikoo Dimii, yang terletak di kaki bukit. Kami langsung menuju jendela kamarnya. Aku lalu mengayunkan parang yang kubawa tepat pada lehernya. Tetapi bilah parang yang kuayunkan terpantul kembali mengenai keningku. Begitu pula Adou Madou. Peluru yang dilepaskannya terpantul kembali mengenai telinganya bagian kanan.
Hanya kali ini upaya pembunuhanku meleset. Aku duduk dalam kecewa. Kecewa karena upayaku gagal. Kurasakan sakitnya sekujur tubuh, walau hanya keningku yang terkena parang.
Baca juga:
Ernest, Apa itu Dunguh?
|
Malam ini aku gelisah. Aku masih saja duduk di ruang tamu. Aku menangis histeris. Sesaat kutatap jam dinding. Jarum pendek menunjuk pada angka 5. Sesubuh itu aku masih terjaga. Sekilas muncul keinginan untuk berhenti dari tugasku, tetapi hal itu terasa amat berat. Untuk apa aku berhenti terbang? Tak akan aku terbang menguasai negeri ini. Untuk apa aku berhenti membunuh? Aku akan dianggap kaum lemah atau kaum hawa oleh sahabat-sahabat seperjuanganku. Tak mungkin juga aku akan mengistirahatkan otakku untuk berpikir seputar misiku.
Kini aku sekarat setelah beberapa jam berlalu. Tak beranjak dari tempat tidurku. Aku terbaring tak berdaya. Aku tak berpikir lagi. Kosong dan hampa. Hanya bola mataku berputar-putar menatap setiap sudut kamar tidurku.
Wajah orang-orang yang telah kupenggal terputar bagai di layar bioskop pada dinding kamar tidurku. Dari balita hingga lanjut usia datang silih berganti menyampaikan selamat tinggal. Barisan panjang itu mengulurkan tangan mereka untuk menjabatanganiku.
Pancaran cahaya datang menerangi kedua bola mataku dan menghilang di dadaku. Aku sempat melihat kilauan cahayanya bagai kilat. Aku baru sadar kalau maut sedang menjemputku. Menjemputku pergi ke neraka. Tempat terakhir aku dan sahabat-sahabatku merintih kesakitan untuk selamanya.
Vitalis Goo, Novelis Asal Papua