PAPUA - Aleks Pigai (36) seorang pemuda suku Mee asal Dogiyai, Papua Tengah ini sangat terharu dan bahagia bisa mendapatkan tas anggrek secara gratis oleh Markus Makai pekan lalu.
"Beberapa hari lalu dalam satu acara, saya bertemu adik Markus kemudian saya bilang tas yang adik bawa ini bagus dan spontan Markus kasih ke saya, " demikian Aleks tulis di akun facebook pribadinya.
Ketika itu, Aleks dan Markus pun aduh mulut sembari negosiasi antara [ambil dan tolak]. Aleks menolak pemberian tas anggrek berdalih belum ada uang yang harus dibayar ke Markus pemilik tas anggrek.
Tapi, mungkin Markus beranggapan ini soal kakak-beradik yang mesti dihormati permintaan sehingga tiada inisiatif lain selain tas anggreknya Markus pantas diberikan dan selanjutnya jadi milik Aleks.
"Saya tidak bicara banyak hanya saya menyampaikan terima kasih Tuhan Yesus memberkati, " begitu ucap Aleks ke Markus sesaat tasnya pindah tangan.
Begitu Aleks tiba di rumah gantungkan taring babi yang ia simpan beberapa bulan terakhir.***
Supaya perjelas dan diketahui mengenai bahan-bahan perajutan, Bung Aleks menguraikan sedikit tentang prosesi rajut tas anggrek.
Bahan utama adalah kulit kayu dan anggrek itu sendiri. Kulit kayu pun tidak sembarang hanya kayu pilihan yang bisa bertumbuh di hutan belantara demikian juga anggrek.
Namun, untuk memperoleh kulit kayu dan anggrek membutuhkan perjuangan yang cukup tinggi dan luar biasa. Masuk hutan dan panjat pohon untuk memperoleh anggrek.
Itu pun, bukan sekali atau dua kali saja tetapi justru sebelum tas itu selesai terajut, proses pencarian bahan terus berlanjut kembali ke hutan.
"Dan tas anggrek ini pun harganya mahal di Papua. Berkisaran 3 sampai 4 juta rupiah, " bebernya.
Pada jaman dahulu, katanya, tas anggrek ini yang layak dibawa adalah orang tertentu atau orang berada (Tonawi) dalam istilah bahasa Mee, kalau bahasa Indonesia (orang kaya).
Meski di Papua tas ini memang mahal, banyak orang gemar membelinya dan kemudian layak mengenakan oleh siapa saja.
Diketahui, perajin tangan merajut tas anggrek mayoritas laki-laki (Yame) dan paling sedikit perempuan (Yagamo) suku Mee yang mendiami di Meepago, Papua Tengah.(*)